Thursday, 28 October 2010

Belajar dari Malaysia

Tepat pukul 14.00 acara dimulai. Acara sempat molor dari waktu yang telah dijadwalkan. Sebelum acara dimulai, ruangan ditengarai oleh alunan musik klasik dan pop Islam yang dimainkan oleh pianis handal milik Darbi. Sosoknya tak asing lagi. Dengan kepiawaian jari-jemarinya, pianis tampan yang biasa dipanggil kak Azhar ini telah berhasil menyulap keadaan sehingga aula TK, Arqam Hall, menjadi hening namun penuh keceriaan.

Jeda. Tak lama setelah peserta berdatangan, acara dimulai. Seperti biasanya, acara dimulai dengan tilawah Al-Qur’an. Pada kesempatan ini dilantunkan oleh al-Akh Nurdin. Pundi-pundi ayat itu begitu menyentuh. Suara merdunya membuat para peserta hanyut. Qad aflahal mu’minun.... Ayat inilah yang dibacakannya.

Tilawah Al-Qur’an selesai. Acara diambil alih oleh Moderator, al-Akh Irfanudin. Sang Moderator menyampaikan bahwa acara yang dikemas menjadi Talk Show ini akan berbicara sekitar pengalaman belajar-mengajar yang diterapkan di Malaysia. Sebelum pembicara menyampaikan materinya yang dikerucutkan dengan judul “Classroom Management”, sang Moderator memperkenalkan pembicara dengan singkat. Beliau adalah Ustadz Abdul Malik salah satu pimpinan Sekolah Menengah Islam Al-Amin Kemaman Malaysia. Ini adalah kunjungan ketiganya ke Darul Abidin. Beliau ditemani 14 orang siswa dan 2 orang guru.

Ustadz Abdul Malik memulai sharing-nya dengan para peserta mengenai pentingnya Bahasa Inggris. Hal ini disampaikan berdasarkan pengalamannya mengajar dan belajar Bahasa Inggris. Menurutnya, bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar belumlah menjiwai Bahasa Inggris sebagai bahasa resmi dunia. Padahal, sebuah bangsa, bisa dinilai besar/kecil dari persepsinya mengenai bahasa ini. Beliau menyebutnya dengan istilah sikap dan mentalitas. Dan hal ini amat terkait dengan worldview/maindset/tashawwur sebuah bangsa. Jika sebuah bangsa menganggap bahasa tidak penting maka lemahlah bangsa tersebut. Lebih jauh lagi dalam dunia pendidikan seperti lembaga pendidikan/sekolah, jika bahasa dengan sastranya tidak menjadi prioritas maka sekolah tersebut seperti tidak memiliki daya saing/nilai lebih. Akhirnya, beliau menutup pembukaannya dengan satu nasehat agar sekolah inipun mampu meningkatkan kwalitasnya dalam bahasa Inggris. Beliau memberi contoh dari hal-hal yang sangat sederhana, bahwa setiap guru harus tahu bahasa-bahasa sederhana/asasi dalam bahasa Inggris. Sambil mendekati seorang peserta beliau mencontohkan, dengan berkata, “What’s your name?”

Masuklah pada masalah inti, yaitu “Classroom Management”. Dari sekian hal yang disorotnya adalah, bahwa karakter/personality menempati posisi terpenting di dalam keberhasilan pembelajaran/pendidikan. Di Malaysia, lanjutnya, seseorang awam dengan sangat mudah membedakan personality seorang guru dari cara bersikap dan penampilannya. Seorang guru/cekgu harus menjadi pribadi yang pantas dicontoh. Jika nuansa perintah dilakukan, maka dirinyalah yang menjadi orang pertama yang melakukan perintah tersebut. Selain itu seorang guru juga harus mempopolerkan sensitifitasnya dengan kepeduliannya terhadap keadaan murid-muridnya. Menurut penelitian, guru termasuk profesi padat masalah, selain profesi tenaga kesehatan seperti dokter/perawat.  

Masalah kedua yang tak kalah pentingnya, mengenai kedisiplinan. Titik dari masalah ini adalah, bagaimana membangun karakter siswa menjadi sangat baik. Baginya, keberhasilan sebuah institusi pendidikan tidaklah hanya dilihat dari baiknya peringkat/nilai siswa, tapi lebih dari itu adalah karakter sebagai central of value. Ustadz Abdul Malik pun menyampaikan, bahwa diantara letak keberhasilan problem kedisiplinan di Sekolah Al-Amin adalah, diterapkannya mentoring sebagai sebuah instrumen penguat dalam membentuk karakter siswa.

Acara Talk Show menjadi lebih menarik ketika sesi tanya jawab dibuka oleh moderator. Moderator mempersilahkan salah satu penanya. Penanya pertama bertanya tentang apakah Bahasa Inggris menjadi media pengajaran di setiap mata pelajaran di Malaysia?, kemudian pada tingkah menengah apakah siswa dan siswi digabung (ikhtilath) saat pembelajaran?. Mic pun dialihkan kepada penanya kedua, yang bertanya mengenai apakah kemampuan Bahasa Inggris menjadi syarat diterimanya seorang calon guru di Malaysia?

Sebelum Ustadz Abdul Malik menjawab satu persatu soal-soal tadi, moderator menambahkan, bahwa di Libya atau di negara Timur Tengah lainnya jumlah TKW jauh lebih banyak daripada pekerja di pelayanan publik seperti rumah sakit. Hal ini terjadi karena lemahnya kemampuan berbahasa, terutama Bahasa Inggris. Kita sebagai ummat Islam pun jangan sampai melupakan bahasa ibu, yaitu Bahasa Arab, dimana bahasa ini adalah sarana yang akan memudahkan kita melaksanakan agama Islam, sebab Bahasa Arab adalah bahasa pengantar Al-Qur’an dan Al-Hadits, tambahnya.

Mulailah Ustadz menjawab pertanyaan-pertanyaan, menurutnya, di Malaysia, khususnya di Al-Amin, Bahasa Inggris tidaklah digunakan sebagai bahasa pengantar dalam setiap mata pelajaran, kecuali pada materi Bahasa Inggris sendiri. Tapi di zaman pemerintahan Mahathir pernah diterapkan, bahwa buku-buku Matematika ditulis dengan berbahasa Inggris. Inipun imbas dari politisasi pendidikan, demikian hematnya. Dan Bahasa Inggris tidak mutlak menjadi syarat diterimanya seorang guru, kecuali bagi seorang guru Bahasa Inggris itu sendiri.

Mengenai penggabungan antara siswa dan siswa di sekolah menengah, beliau menyampaikan, bahwa di Al-Amin, tidak diterapkan pemisahan itu, tapi tetap digabungkan, hanya saja saat pengajaran berlangsung, yang siswa diposisikan pada posisi terdepan, dan siswinya di posisi belakang. Tapi penjagaan terhadap adab-adab Islami dalam bergaul begitu sangat ketat diterapkan. Beliau sempat mengkritisi, bahwa ada diantara siswanya yang berkomentar mengenai pola pergaulan antar jenis yang ada di Sekolah Islam Indonesia. Saat di kantin, siswa-siswi dengan leluasa bercengkerama pada satu meja tanpa batas. Lebih lanjut, menurutnya, para gurupun harus berdisiplin. Tidak melakukan sikap in-konsistensi, seperti satu sisi begitu tegas, tapi begitu longgar di antara sesama guru itu sendiri. Sebagai contoh, seorang guru pria tidak canggung berbicara dengan guru perempuan berlama-lamaan di sebuah tempat, apalagi sampai pulang bareng dengan saling berboncengan. Di Malaysia pun, diterapkan, bahwa tempat masuk siswa dan siswi dibedakan.

Penanya ketiga beralih kepada masalah pembangunan karakter, bagaimanakah sistem yang digunakan sekolah dalam rangka membentuk karakter siswa dan apakah ada materi khusus yang disampaikan? Sedangkan penanya terakhir, bertanya mengenai sistem penerapan hukuman cambuk/pukulan, dimana sebelumnya Ustadz Abdul Malik menyinggungnya. 

Beliau menjawab pertanyaan ketiga, bahwa yang menjadi sistem pembentukan karakter siswa di Sekolah Al-Amin adalah dengan diterapkannya mentoring sebagai instrumen pengokohnya. Mentoring dilakukan dengan sangat sederhana. Dilakukan sekali dalam satu pekan. Lebih menitikberatkan pada masalah-masalah aplikatif, bukan teoritik. Model pengajaran dilakukan lebih evaluatif terhadap perilaku-perilaku siswa dalam sehari. Setiap siswa memiliki buku khusus berkenaan dengan evaluasinya, mulai dari masalah kedisiplinan perilaku sampai masalah ibadah. Dari masalah yang sangat besar sampai yang kecil sekalipun. Dari masalah yang terpenting sampai masalah yang penting.

Form evaluasi/mutaba’ah dibuat bertingkat, dimulai dari diri sendiri apakah melakukannya sampai pada kepeduliannya terhadap orang lain. Kepedulian kepada orang lain dilakukan sebagai upaya membanguun semangat dakwah. Sebagai contoh: 1. apakah Anda mengerjakan PR hari ini?; 2. apakah Anda mengajak orang lain untuk mengerjakan PR juga?. Contoh lain: 1. apakah hari ini Anda menonton TV?; 2. apakah acara yang Anda tonton hari ini berfaedah?; 3. apakah Anda mengajak orang lain untuk menonton acara yang berfaedah itu? Contoh lain: 1. apakah Anda menggosok gigi hari ini?; 2. apakah Anda mengajak orang lain untuk menggosok gigi hari ini?

Selanjutnya pada masalah hukuman. Di Al-Amin, katanya, hukuman fisik itu diterapkan sebagai cara terakhir di dalam membangun kedisiplinan siswa. Tentu penerapannya memiliki syarat-syarat, yaitu harus pimpinan/principal yang melakukannya dan pelanggaran yang dilakukan merupakan pelanggaran berat (seperti tidak sholat atau berprilaku/berkata lucah/pelecehan). Tausiyah, teguran, sampai sholat taubat yang dibimbing guru menjadi tahapan atau proses yang dilakukan pihak sekolah sampai akhirnya “terpaksa” harus mencambuk/ menghukum siswa dengan pukulan.

Tak terasa, ternyata jarum jam menunjukkan pukul 14.45, dan adzan telah berkumandang. Ustadz Abdul Malik pun menutup penyampaiannya dengan ucapan salam. Sebelum moderator menutup acara dengan do’a kafaratul majelis, dirangkumlah sebuah kesimpulan. Akhdzu mā shofa, wa tarku mā  kadar (mengambil yang jernih, dan membuang yang kotor), demikian pendahulu kita mengajarkan. Semoga segala pelajaran dari Malaysia mampu menjadi inspirator dan dapat diamalkan.


Dilaporkan agar menjadi perenungan:
Abu Sabiq, Kelas PAI, 26 Oktober 2010, 11.45

No comments:

Post a Comment