Monday 26 September 2011

THE LOVELY DARBI PART III

Ditulis tepat 2 hari setelah berdamai dengan Mr. Chicken fox (Mr or Mrs ya??) sebagai bahan kontemplasi pribadi. Semoga bermanfaat untuk yang membaca.

A house is a home where it shelters the body and comfort the soul”

Quote di atas kutemukan ketika aku membuka buku mata kuliah translating lamaku. Masih terekam jelas dalam ingatan ketika Mr. Atiq menugaskan untuk mendefinisikan sesuatu dari cara pandang berbeda, salah satu kata yang harus kudefinisikan adalah a house. Bagiku, quote tersebut adalah impian akan hakikat sebuah rumah ideal yang aku belum beruntung memilikinya pada saat itu. Akhrnya definisi tersebut menjadi bermakna ketika aku melangkah ke jenjang pernikahan. Suamiku menjadikan definisi usangku bukan sekedar quote tapi lebih ke arah sebenarnya. Bukan hanya ragaku yang numpang menetap akan tetapi jiwaku pun sudah menemukan pelabuhannya.


Uniknya, definisi usang tersebut selalu mengikuti kemanapun aku melangkah. Tempat kerja pertamaku semenjak kuliah tingkat II juga menjadi a house untukku. Banyak tantangan yang harus kuhadapi saat itu dari  urusan birokrasi kedutaan yang lumayan ngejelimet, sikap arogan  klien asal timur tengah, sampai rekan kerja yang complicated. Aku Cuma punya 2 pilihan; berhenti kerja karena tidak ingin bermasalah atau tetap bekerja dengan konsekuensi harus menghadapi tantangan2 tersebut. Akhirnya aku  membulatkan tekad untuk mencintai pekerjaan yang aku geluti dan menyakinkan diri sendiri bahwa bukan pekerjaanku yang menjadikanku bahagia, akan tetapi aku lah yang punya kuasa untuk menjadikannya pekerjaan yang membahagiakan. Alhamdulillah, 8 tahun kulewati dengan sangat bahagia hingga aku memutuskan untuk rehat karena ingin fokus mengurus anak.

8 bulan kemudian, aku kembali menemukan  a house di tempat berbeda. Berawal dari kunjungan sahabat suamiku yang bekerja pada salah satu sekolah di daerah Beji hingga akhirnya membuka impian terbesar masa kecilku untuk menjadi seorang guru. Sempat gamang untuk memulai, meskipun nota bene aku kuliah pada jurusan pendidikan, tapi 8 tahun terakhir aku habiskan di bidang yang bertolak belakang dengan pendidikan. Banyak ragu menggelayuti, pantaskah aku menjadi seorang pendidik? Karena bagiku, guru bukan hanya mesin ATM penyelia transfer ilmu, tapi lebih kepada menjadi sosok yang menjadikan pengajaran bukan sekedar pekerjaan, melayani siswa lebih dari sekedar sumber SPP, dan benar-benar sosok yang patut untuk digugu dan ditiru. Could I be the one?    

Aku melewati satu tahun pertama dengan tidak mudah, banyak yang harus aku pelajari dari merewind ingatan tentang bagaimana membuat sylabus & RPP, cara berkomunikasi dengan rekan kerja, menangani siswa dengan cara yang baik dan benar, sampai bagaimana menjalin komunikasi efektif dengan orangtua murid. Dari waktu ke waktu, aku azzamkan untuk menjadikan tempat berpijakku sebagai a house. Kepercayaan orang tua murid, sikap respect atasan, binar indah di bola mata siswa serta senyum tulusnya, sikap ramah rekan, dan banyak lagi kebaikan yang kutemui di Darbi menjadi rutinitas syukur malamku menjelang tidur. sedangkan, masalah dan hambatan yang kutemui kujadikan bahan introspeksi untuk menjadi pribadi yang lebih baik. And finally, I find it again…. Darbi is a house for me.

Saat sedang jatuh cinta  pada rumah keduaku, aku ditawari tantangan untuk pindah unit. Menantang? Pastinya. Tapi pertanyaan yang berputar dibenakku cuma satu. Mampukah aku mengubah zona nyamanku?  Zona dimana aku sangat nyaman bertematik dengan segala keunikannya. Zona dimana aku memiliki komunitas yang luar biasa produktif dan kreatif. Zona dimana aku selalu “jatuh cinta” pada keluguan dan kepolosan siswaku. Belakangan baru kusadari, tidak ada yang bisa membuat diri kita nyaman selain diri kita sendiri yang menciptakannya. Kenyamanan harus diciptakan bukan dipaksakan untuk hadir sendiri atau memaksakan lingkungan menyamankan kita.

“Inna ma’al ‘ushri yusro wa inna ma’al ‘ushri yusro” Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. Penggalan surat Al-Insyiroh dijadikan bekal oleh suamiku ketika akhirnya aku memutuskan untuk menerima tantangan baru tersebut. Apakah setelah itu semua berjalan mulus? Tentu saja tidak, banyak sekali tantangan, bahkan sampai saat inipun aku masih harus banyak belajar menyerap ilmu dan memaknai tantangan yang kuterima. Betapa tidak,banyak hal berbeda yang kutemui di unit baruku; pola pembelajaran, mekanisme ulangan, proses pembuatan soal, perangkat –perangkat kurikulum, dan karakter siswa  yang berbeda 180 derajat dari pola yang ada di zona lamaku. Tidak terhitung lagi berapa banyak kesalahan yang kulakukan untuk kemudian menjadi sebuah pembelajaran bagiku. Kita tidak akan tahu hakikat kebenaran bila tidak melalui proses membuat kesalahan,kan? Bahkan, Einsten pun menganggap 1000 kegagalan eksperimennya sebagai 1000 jalan menuju sukses. Alhamdulillahnya, aku dikelilingi teman-teman hebat yang memberikan banyak sekali pengalaman berharga untukku. And I find it again… unit baru ini telah menjadi a house untukku lagi. Tidak butuh hitungan tahun untuk membuatku jatuh cinta pada lingkungan, teman, dan siswa baruku. Aku memutuskan untuk jatuh cinta dan membuat diriku nyaman lebih awal. Dulu, sempat terbersit aku akan banyak kehilangan jika pindah unit. Kehilangan teman-teman terbaik, kasih sayang siswa, dan kepedulian orang tua murid. tapi ternyata, aku tidak benar-benar kehilangan. Komunikasi dengan teman-teman terbaik di unit lamaku masih tetap terjalin meskipun tidak seintens dan selepas dahulu, siswa-siswaku masih rajin menyambangi, dan kkontak dengan otm masih tetap terjalin. Malah sekarang hal-hal tersebut menjadi berlipat ganda dengan hadirnya teman baru, siswa baru, dan lingkungan yang tidak kalah hebat dan produktifnya. Yang terpenting adalah bukan dimana kita ditempatkan tapi bagaimana kita memaknai penempatan untuk menjadi hal yang membuat kita nyaman. Aku baru merasakan team yang sebenarnya (Together Every one Achieve More). Team yang dapat membuatku selalu belajar, memaknai peristiwa yang terjadi dengan lebih bijak, dan banyak lagi hal baik yang jika kutuliskan akan menghabiskan berlembar-lembar kertas.

Menurutku, unit-unit yang ada di Darbi adalah sempalan puzzle yang seyogyanya saling keterkaitan untuk dapat menjadikannya puzzle yang utuh. Keunikan serta kekhasannya memang sangat berbeda, tetapi itulah yang membuatnya berwarna. Meskipun baru menjajal 2 unit dengan latar belakang yang berbeda, namun aku memahami satu hal, Darbi bukanlah bagian tubuh yang terpisah seperti amoeba yang melepaskan diri dari inangnya. Darbi adalah satu tubuh utuh, dimana tubuh yang satu dengan yang lainnya saling terikat dan tidak berfungsi bila yang lainnya dipisahkan. Jika satu bagian tubuh merasakan sakit maka otomatis bagian yang lainnya juga akan merasakan hal yang serupa. Berdiri, maju, berkembang, dan memperoleh pencapaian cemerlang secara bersama. Kita punya hak penuh atas diri kita untuk menjadikan Darbi sebagai a house atau tidak. Bukan lingkungan, yayasan, atau orang yang berada didalamnya yang menjadikan Darbi sebagai a house yang menyamankan kita. You are the only one who can choose to be happy or unhappy.  So, kenapa harus takut berpindah zona? Berani mencobaJ

Ditulis dengan cinta untuk DARBI (Darul Abidin Adalah Rumah Bagi yang Ingin) dan salam cinta selalu untuk seluruh warga Darbi.  Oleh Nurul Badriyah, S.Pd.

No comments:

Post a Comment