Monday 17 December 2012

MURID SEBAGAI PELAKU SENI

SMPIT Darul Abidin - Depok


Jaringan Sekolah Islam Terpadu, pada tanggal 15 Desember 2012 mengadakan sebuah acara seminar yang bertemakan “Seminar Pembelajaran Seni SIT: Menumbuhkan Kreatifitas Melalui Seni Islami.” Acara ini sendiri mengundang 2 orang narasumber, yakni Hilman Syihab, LC dan juga Habiburrahman El Shirazy. Kebetulan saya seorang pengajar Seni Budaya Teater dan guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang diutus oleh pihak Sekolah Islam Terpadu Darul Abidin untuk mengikuti acara tersebut. Sehingga wajib hukumnya bagi saya untuk menshare kegiatan yang saya ikuti kepada para guru-guru di sekolah yang terwakili oleh saya secara pribadi.


Saat ini ada asumsi yang mendasar mengenai kesenian di mata kaum muslimin, dimana kesenian diposisikan sebagai sesuatu hal yang berada diluar eksistensi kaum muslimin. Kesenian bukanlah berasal dari Islam, ia mahluk ASING yang berdekatan dan bersentuhan semata karena pergaulan keseharian umat muslim dalam kehidupannya.

Islam tidak mengenal seni peran, seni lukis, seni pahat, seni musik, seni tarik suara dan seni-seni-seni POP lainnya yang terus berkembang dan berinovasi di tengah modernitas saat ini. Oleh sebab itu, Islam dipandang sebagai agama statis yang mengkerdilkan daya imajinasi dan kreatifitas umat para pemeluknya. Tiada pelaku kesenian yang seorang muslim, tiada produk-produk kesenian yang Islami, dan tiada kesenian dalam kontkes ke-Islaman.

Akibatnya, banyak problematika yang dihadapi oleh kaum muda muslim dalam menggali dan menemui jalan kreatifitasnya. Mulai dari hal-hal yang sederhana hingga hal-hal yang ekstrim sekaligus. Hal-hal sederhana tersebut misalkan seperti, bolehkah kita memainkan alat musik gitar? Bolehkah seorang wanita menari dan bernyayi dalam berkesenian? Bolehkah kita melukis ataupun menggambar? Dan serentetan pertanyaan lainnya menunggu di belakang. Hal lain yang lebih ekstrem satu diantaranya sampai pada titik dimana orang tua melarang anaknya untuk mendengarkan musik ataupun menonton televisi.

Menghalalkan yang haram adalah sebuah dosa. Sama halnya dengan mengharamkan yang halal. Daging babi yang haram kemudian dilabelkan halal, itu sebuah penistaan dan dosa karenanya. Sama halnya dengan kesenian yang halal kemudian dilabelkan haram, itu sebuah kebohongan dan dosa karenanya.

Dasar sebuah kesenian itu halal ialah bahwa selama seni tidak berkaitan dengan ibadah, akidah, ataupun sari’ah. Seni sangat berkaitan dengan kemanusian, sisi-sisi kemanusian yang kemudian berujung pada hubungan muamalah. Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) seorang budayawan sekaligus pelaku seni Islam pernah berkata, bahwa kesholehan seorang muslim diukur dari kesholehan sosialnya. Tentunya, disamping bentuk peribadatan secara personal seseorang sebagai bentuk rasa cintanya kepada Allah SWT.

Banyak hal muamalah yang sebetulnya bisa digali dalam kegiatan berkesenian seorang muslim, diantaranya seperti membuka pintu saliturahmi hingga berdakwah melalui kegiatan berkesenian. Oleh karenanya, dalam sudut pandang seperti itu, kesenian adalah sesuatu yang halal. Lain ceritanya, jika kesenian sebagai sebuah ekspresi kemanusian memuat hal-hal yang berujung pada kemaksiatan dan jurang kemusrikan.

Dengan demikian, batasan kesenian itu halal atau haram sesungguhnya bukan pada alat atau media musiknya dimana output dari hal itu tentunya berupa produk kesenian. Halal atau haramnya sebuah kesenian dalam sudut pandang Islam ialah apakah berkesenian itu membuat kita lalai ataukah semakin menjauhkan kita kepada Allah SWT. Silahkan saja bernyanyi, menari, melukis, memahat dan memainkan peran selama itu semua membuat kita menjadi dekat kepada Allah SWT melalui keindahan yang di dapat melalui berkesenian.

 Berdasarkan risalah, Rasulullah SAW hadir di bangsa Arab ditengah puncak seni kesusastraan yang ada di tengah masyarakatnya. Hingga kemudian Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagai puncak sejati kesusastraan itu sendiri. Maka tak jarang Rasulullah berdakwah sekaligus berkesenian dalam beberapa momentum. Hal itulah yang kemudian menjadi daya tarik orang-orang Arab untuk kemudian mengenal dan memeluk agama Islam selanjutnya. Sastra dalam hal ini berupa syair ketika itu adalah magnet utama untuk menyentuh hati ataupun kesadaran manusia yang paling ampuh untuk menilai estetika ataupun pesan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Hal ini dikarenakan sastra (syair) melibatkan pikiran, hati dan juga jiwa manusia, baik yang menulisnya ataupun mendengarkannya. Itulah inti bahwa kesenian merupakan media dakwah, sebagaimana yang telah Rasulullah contohkan kepada kita.

Dikala para peserta seminar diberikan waktu untuk bertanya dan mengunggkapkan pendapatnya, maka saya langsung mengacungkan jari sebagai tanda bahwa saya meminta ijin untuk berbicara. Ada dua hal yang saya bicarakan, diantaranya:
  1. Bagaimana kalau JSIT membuat bulan seni dan kebudayaan bagi setiap muridnya disekolah.
  2. Adakan kegiatan movie (seni senima-fotografi) on the school untuk mengeksplor jiwa seni murid.
Apa yang saya bicarakan dalam forum tersebut kemudian langsung direspon oleh ketua JSIT, Pak Sukro. Beliau mengatakan bahwa bulan seni akan dijadikan sebagai bahan pembicaraan di rapat kepengurusan kepanitian selanjutnya yang akan diadakan di Palembang pada awal tahun 2013 nanti. Sedangkan movie on the school akan menyusul kemudian setelah diawali dari kegiatan nasyid on the school.

Terakhir, tulisan ini hanyalah sebuah usaha sederhana untuk wacana besar nantinya berupa murid sebagai pelaku seni aktif yang dapat mengembangkan potensi kesenian yang dimilikinya dalam wadah Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT).  

by Imam Sapargo on Monday, December 17, 2012 at 8:57pm ·

No comments:

Post a Comment